“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakam sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan" (At-Taubah: 54).
Rasulullah bersabda:
(( أَثْقَلُ الصَّلاَةَ عَلَى المُنَافِقِيْنَ صَلاَةُ العِشَاءِ وَصَلاَةُ الفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً )) متفق على صحته.
“Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat ‘Isya dan shalat Fajar (Shubuh), dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung didalamnya niscaya mereka akan mendatanginya (untuk melakukan kedua shalat tersebut) walaupun dalam keadaan merangkak" (Muttafaq alaih).
Maka merupakan kewajiban setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan untuk menjaga shalatnya yang lima waktu dan melakukannya dengan thuma’ninah (tenang), bersegera kepadanya dan khusyu' saat melaksanakannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman: (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya" (Al-Mu’minun: 1-2).
Begitu juga terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah bahwa dia memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya, karena tidak thuma’ninah. Khusus bagi kaum laki-laki agar memelihara shalat berjamaah, bersama saudara-saudaranya di rumah-rumah Allah yaitu masjid, berdasarkan hadits Rasulullah :
(( مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ )) أخرجه ابن ماجه و الدارقطنى وابن حبان والحاكم بإسناد صحيح.
"Siapa yang mendengar azan kemudian dia tidak datang (untuk shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan" (Riwayat Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih).
Ibnu Abbas radiallahu'anhuma ditanya tentang halangan apa yang dimaksud, dia menjawab:” takut dan sakit”.
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah , dari Rasulullah , bahwa datang kepadanya seorang laki-laki yang buta seraya berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada yang menuntunku ke masjid, apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? maka Rasulullah memberinya keringanan, tapi kemudian beliau memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau mendengarkan seruan untuk shalat (azan)? dia menjawab, “Ya”, beliau bersabda:”Sambutlah (dengan pergi ke masjid untuk shalat berjamaah -pent).”
Dalam As-Shahihain dari Abu Hurairah , dari Rasulullah , beliau bersabda: “Aku sungguh sangat ingin sekali memerintahkan agar shalat dilaksanakan, kemudian ada seseorang yang menjadi imam, sementara aku bersama beberapa orang berangkat dengan membawa seikat kayu bakar dan mendatangi sekelompok kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah) lalu aku membakar rumah-rumah mereka ".
Beberapa hadits yang shahih tersebut menunjukkan bahwa shalat berjamaah bagi kaum laki-laki merupakan kewajiban yang paling besar dan bagi yang meninggalkannya layak untuk mendapatkan hukuman yang berat. Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya dan memberi mereka taufiq atas segala apa yang diridhai-Nya.
Adapun meninggalkannya sama sekali atau sebagian waktunya saja, maka menurut pendapat yang terkuat diantara dua pendapat ulama, hal tersebut merupakan kekufuran yang besar baik pria maupun wanita, walaupun pelakunya tidak mengingkari kewajibannya, berdasarkan hadits Rasulullah :
(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))
“Antara seseorang dan kekufuran serta kemusyrikan adalah meninggalkan shalat”. (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
(( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ))
“Janji antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir". (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan yang empat dengan sanad yang shahih) dan masih banyak lagi hadits yang semakna dengannya.
Adapun orang yang mengingkari kewajibannya baik laki-laki maupun wanita, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan para ulama, walaupun dia melakukan shalat. Semoga Allah melindungi kita dan semua kaum muslimin dari hal tersebut, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.
Merupakan kewajiban kaum muslimin seluruhnya untuk saling menasihati dan memberi wasiat dalam kebenaran dan saling tolong- menolong dalam kebaikan dan takwa, diantaranya adalah menasihati orang yang tidak shalat berjamaah atau menyepelekannya bahkan sewaktu-waktu meninggalkannya. Mengingatkan mereka akan kemurkaan dan hukuman-Nya. Dan kewajiban kedua orang tua, saudara-saudara dan kaum kerabatnya untuk menasihatinya secara terus menerus sehingga dia mendapatkan hidayah dari Allah dan istiqamah di jalan-Nya. Demikian juga halnya bagi wanita yang menyepelekan shalat atau meninggalkannya, wajib untuk dinasihati secara terus menerus dan mengingatkannya akan kemurkaan Allah serta hukuman-Nya dan mengucilkannya jika dia tidak mengindahkannya padahal dia mampu melakukannya, dan menghukumnya dengan cara yang layak. Karena semua itu adalah termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan Amar ma’ruf nahi munkar yang Allah wajibkan bagi semua hamba-Nya, baik pria ataupun wanita, berdasarkan firman Allah :
• •
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberikan rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha Bijaksana. " (At-Taubah: 71).
Juga berdasrkan hadits Rasulullah :
(( مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ ))
“Perintahkanlah anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak melakukan shalat) pada usia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka."
Jika anak-anak pada usia tujuh tahun sudah diperintahkan shalat, dan boleh dipukul jika tidak melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, maka orang yang sudah baligh lebih utama untuk diperintahkan shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya setelah dinasihati secara terus menerus.
Adapun saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, adalah berdasarkan firman Allah :
•
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati dalam kesabaran. " ( Al-‘Ashr: 1-3).
Dan siapa yang meninggalkan shalat setelah masa baligh serta tidak menerima nasihat, maka perkaranya dibawa ke pengadilan syar’i, agar diperintahkan untuk bertaubat, jika tidak bertaubat maka dihukum mati. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberikan kepada mereka pemahaman terhadap agamanya dan menuntun mereka untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta amar ma’ruf nahi munkar dan saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia Maha Pemberi lagi Mulia.
16. Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan atau semisalnya sehingga ia mengalami pendarahan di otak atau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari, apakah wajib bagi orang tersebut meng-qadha shalatnya jika telah sadar?
Jawab: Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya meng-qadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur yang tidak menggugurkan qadha, dan telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat -radiyallahuanhum- bahwa mereka mengalami pingsan kurang dari tiga hari, maka mereka mengqadha (shalatnya).
Adapun jika masanya melebihi tiga hari, maka tidak wajib baginya meng-qadha, berdasarkan hadits Rasulullah :
(( رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَالمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ ))
“Al-Qalam di angkat atas tiga perkara: Dari orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sadar."
Adapun orang yang pingsan dalam waktu yang lama menyerupai orang gila dalam hal hilang akalnya. Wallahu waliyyuttaufiq.
17. Banyak orang yang sakit menganggap remeh terhadap shalatnya dan berkata: Jika aku sembuh aku akan mengqadha shalat, sementara sebagian lagi berkata: Bagaimana saya dapat shalat sedangkan saya tidak dapat bersuci dan membersihkan diri dari najis. Bagaimana sebaiknya kita mengarahkan mereka?
Jawab: Selama akal masih berfungsi, sakit bukan halangan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat hanya karena alasan tidak dapat bersuci. Maka tetap merupakan kewajiban bagi orang sakit untuk shalat sesuai dengan kemampuannya dan bersuci dengan air jika dia mampu untuk itu, jika dia tidak mampu menggunakan air maka hendaknya dia tayammum dan shalat. Dia juga harus menghilangkan najis yang terdapat di bajunya atau badannya dan mengganti baju yang terdapat najis dengan baju yang suci dari najis pada saat melaksanakan shalat, jika dia tidak mampu untuk membersihkan najis atau mengganti baju yang terkena najis dengan baju yang suci, maka gugur baginya semua kewajiban-kewajiban itu, maka dia dapat melakukan shalat sebagaimana adanya, berdasarkan firman Allah :
“Bertakwalah kamu semampu kamu” (At-Taghabun: 15).
Dan berdasarkan hadits Rasulullah :
(( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاتَّقُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ )) متفق عليه
“Jika aku memerintahkan sesuatu perkara, maka patuhilah semampu kalian” (Muttafaq Alaih).
Juga hadits Rasulullah kepada ‘Imran bin Husain –radiyallahu'anhuma- tatkala dia mengadukan tentang penyakitnya:
(( صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ )) رواه البخاري في صحيحه ورواه النسائي بإسناد صحيح وزاد: (( فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا ))
“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu, maka duduklah, jika tidak mampu, maka hendaknya berbaring (dengan posisi miring bertumpu pada sisi tubuh sebelah kanan)." (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dan riwayat An-Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan: “ Jika tidak mampu maka terlentanglah".
18. Orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja, baik untuk satu waktu atau lebih, kemudian mendapatkan taufiq dari Allah dan bertaubat, apakah dia mengqada shalat yang ditinggalkannya tersebut?
Jawab: Dia tidak diharuskan mengqadha apa yang dia tinggalkan dengan sengaja menurut pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama, karena meninggalkannya dengan sengaja membuatnya keluar dari wilayah Islam dan menjadikannya kelompok orang-orang kafir. Dan orang kafir tidak diwajibkan meng-qadha shalat yang dia tinggalkan saat dia kufur, berdasarkan hadis Rasulullah :
(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ )) رواه مسلم في الصحيح عن جابر بن عبد الله
“Antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat." (Riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdullah )
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah :
(( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) أخرجه الإمام أحمد وأهل السنن بإسناد صحيح عن بريدة بن الحصيب .
“Janji antara kita dengan mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya dia telah kafir” (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Buraidah bin Al-Hushaib ).
Begitu juga Rasulullah tidak memerintahkan orang-orang kafir yang masuk Islam untuk mengqadha shalatnya yang mereka tinggalkan, begitu juga halnya dengan para sahabat radiallahuanhum, mereka tidak memerintahkan orang-orang murtad yang kembali masuk Islam untuk mengqadha shalatnya. Akan tetapi jika seseorang mengqadha shalat yang dia tinggalkan dengan sengaja tetapi dia tidak mengingkari wajibnya shalat, maka tidaklah mengapa sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyath) dan untuk keluar dari khilaf dengan mereka yang berkata: ” tidak kufur karena meninggalkan shalat dengan sengaja jika tidak mengingkari kewajibannya ” dan mereka adalah mayoritas para ulama. Wallahu waliyyuttaufiq.
AZAN
19. Sebagian orang ada yang berkata, "jika azan tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tidak perlu lagi azan, karena fungsi azan adalah untuk memberitahu akan masuknya waktu shalat, bagaimanakah pendapat tuan yang mulia dalam masalah ini, dan apakah azan tetap disyariatkan bagi orang yang sendirian ditengah padang pasir?
Jawab: Jika azan tidak dilakukan pada awal waktu, maka tidak disyariatkan untuk azan lagi sesudahnya jika di daerah tersebut ada mu’azzin lainnya yang telah melakukannya, adapun jika terlambatnya sebentar saja, maka tidak mengapa untuk melakukan azan.
Adapun jika dalam suatu daerah tidak ada mu’azzin selainnya, maka dia harus melakukan azan meskipun sudah terlambat beberapa saat. Karena hukum azan adalah fardhu kifayah, sementara tidak ada selainnya yang melakukannya, maka wajib baginya untuk melakukannya dan dia bertanggung jawab untuk itu, karena orang-orang kebanyakan menantinya.
Sedangkan bagi orang yang bepergian, maka disyariatkan baginya azan meskipun cuma sendirian. Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Abu Sa’id , saat dia berkata kepada seseorang: “Jika engkau berada saat mengembala kambing atau di tempat sepi, maka angkatlah suara kalian untuk melakukan azan, karena siapa saja yang mendengar suara mu’azzin baik jin maupun manusia atau apa saja, mereka akan menjadi saksi baginya pada hari qiamat”. Ucapan tersebut maushul kepada Rasulullah . Begitu juga halnya dengan hadits-hadits yang lainnya yang secara umum berbicara tentang disyari’atkannya azan dan keutamaan-keutamaannya.
20. Apakah wajib bagi wanita untuk melakukan azan dan iqomat, baik dalam keadaan tidak bepergian seorang diri atau di tanah lapang atau bersama-sama?
Jawab: Tidak disyari’atkan bagi wanita untuk melakukan azan dan iqamat, baik dalam keadaan menetap atau bepergian, sesungguhnya azan dan iqamat hanyalah untuk kaum laki-laki. Hal tersebut telah dinyatakan dalam beberapa hadits shahih dari Rasulullah .
21. Jika seseorang lupa untuk melakukan iqamat dan kemudian melakukan shalat, apakah hal tersebut akan berpengaruh pada hukum shalatnya, baik dia dalam keadaan sendiri atau bersama jamaah?
Jawab: Jika seseorang shalat sendirian atau berjamaah tanpa melakukan iqamat (sebelumnya), maka shalatnya tetap sah, dan bagi mereka yang melakukan hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah .
Begitu juga halnya jika mereka shalat tanpa melakukan azan, maka shalatnya sah, karena azan dan iqamat termasuk fardhu kifayah dan keduanya diluar syarat sah shalat.
Dan bagi siapa yang meninggalkan azan dan iqamat hendaknya bertaubat kepada Allah atas perbuatannya itu, karena fardhu kifayah jika semua orang meninggalkannya maka seluruhnya akan berdosa, akan tetapi jika sebagian melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dan dosa bagi yang lainnya, baik dalam keadaan menetap atau sedang bepergian, baik di desa atau kota atau pedalaman. Semoga Allah memberi taufiq kepada seluruh kaum muslimin atas apa saja yang diridhai-Nya.
22. Apa dalilnya ucapan azan dalam shalat fajar:
الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ
dan apakah pendapat tuan syaikh terhadap mereka yang mengucapkan:
حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل
apakah ada dalilnya?
Jawab: Terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah , bahwa beliau memerintahkan Bilal dan Abu Mahzurah tentang hal tersebut (yaitu ucapan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ dalam shalat shubuh), sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas , bahwa beliau berkata: “Merupakan sunnah dalam azan shalat fajar, seorang mu’azin mengucapkan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ “. Kalimat ini diucapkan dalam azan yang dikumandangkan saat terbitnya fajar menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat para ulama dan dinamakan azan pertama jika dikaitkan dengan iqamat, karena iqamat disebut juga azan kedua, sebagaimana hadits Rasulullah , بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ الصَّلاَةُ (Diantara dua azan terdapat shalat), dan terdapat riwayat yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah radiallahuanha yang menunjukkan hal tersebut.
Adapun ucapan sebagian kalangan Syi’ah dalam azan:
حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل , itu adalah bid’ah dan tidak terdapat dalilnya dalam hadits-hadits yang shahih, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan kepada seluruh kaum muslimin untuk mengikuti sunnahnya dan menggenggamnya erat-erat, karena itu merupakan jalan keselamatan dan kebahagiaan bagi seluruh ummat.
23. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah , mengumandangkan dalam shalat Kusuf (shalat gerhana)
" الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ", apakah hal tersebut diucapkan sekali saja atau disyari’atkan berulang-ulang, berapakah batasan untuk mengulanginya?
Jawab: Terdapat riwayat dari Rasulullah , bahwa beliau memerintahkan untuk mengumandangkan dalam shalat Kusuf ucapan " الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ", Disunnahkan bagi yang mengumandangkannya untuk mengulang-ulangnya sampai dia meyakini bahwa orang-orang telah mendengarnya, dan tidak terdapat batasan jumlahnya sebagaimana yang kami ketahui. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
TATA CARA SHALAT
24. Banyak saudara-saudara kita yang sangat ketat dalam masalah sutrah (pembatas shalat), sampai mereka menunggu adanya sutrah jika tidak didapatkannya tiang lowong (dari orang yang shalat) yang terdapat dalam masjid. Mereka juga menyalahkan orang-orang yang shalat tanpa sutrah. Sementara sebagian yang lainnya menganggap remeh perkara ini. Manakah yang benar dalam masalah ini, dan apakah garis dapat dijadikan sutrah jika tidak terdapat yang lain? adakah dalilnya?
Jawab: Sutrah dalam shalat merupakan sunnah mu’akkadah dan bukan kewajiban dan jika tidak terdapat sesuatu yang tegak, maka garis dapat menjadi penggantinya. Dalil dari apa yang kami ucapkan adalah hadits Rasulullah :
(( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا )) رواه أبو داود بإسناد صحيح.
“Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka hendaklah ia shalat dengan sutrah dan mendekat kepadanya.“ (Riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih).
Dan terdapat juga riwayat dari Rasulullah:
(( يَقْطَعُ صَلاَةَ المَرْءِ المُسْلِمِ إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤَخَّرِ الرَّحَلِ: المَرْأَةُ وَالحِمَارُ وَالكَلْبُ الأَسْوَدُ )) رواه مسلم في صحيحه.
“Jika dihadapan seseorang tidak terdapat seumpama ujung pelana (sebagai sutrah), maka shalatnya akan terputus oleh: wanita, keledai dan anjing hitam. “ (Riwayat Muslim dalam Shahihnya).
Juga hadits Rasulullah :
(( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصَا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ )) رواه الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد حسن.
“Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka hendaklah menjadikan sesuatu berada dihadapannya, jika tidak ada maka tancapkanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, kemudian setelah itu tidak akan merusak (shalatnya) jika ada yang lewat didepannya.“ (Riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih).
Berkata Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam kitabnya Bulughul Maram: Terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa beliau shalat kadang-kadang tidak menggunakan sutrah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah merupakan kewajiban. Dikecualikan dalam masalah ini jika shalat di Masjidil Haram, maka bagi yang shalat tidak perlu menggunakan sutrah, sebagaimana riwayat Ibnu Zubair , bahwa dia shalat di Masjidil Haram tanpa menggunakan sutrah, sedangkan orang-orang thawaf berada didepannya, begitu juga terdapat riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah yang menunjukkan hal tersebut akan tetapi dengan sanad yang lemah.
Alasan lainnya adalah karena Masjidil Haram merupakan tempat yang selalu penuh sesak dan tidak mungkin menghindari lalu lalangnya orang didepan orang yang shalat, maka gugurlah syari’at sutrah sebagaimana yang telah disebutkan, hal serupa juga berlaku bagi Masjid Nabawi pada saat penuh sesak, demikian juga tempat yang lainnya jika penuh sesak berdasarkan firman Allah :
“Maka bertakwalah kalian semampu kalian.“ (At-Taghabun: 16).
Juga berdasarkan hadits Rasulullah :
(( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ )) متفق على صحته.
“Jika aku memerintahkan kalian, maka lakukanlah semampu kalian.“ (Muttafaq alaih).
25. Kami menyaksikan banyak orang yang meletakkan tangannya dibawah pusarnya dan sebagian yang lainnya diatas dadanya dan mereka mengingkarinya dengan sangat bagi orang yang meletakkan tangannya dibawah pusarnya. Sementara yang lainnya meletakkan dibawah janggutnya, dan sebagian yang lainnya menjulurkan tangannya. Manakah yang benar?
Jawab: Sunnah yang shahih menunjukkan bahwa yang paling utama bagi orang shalat saat dia berdiri meletakkan telapak tangan kanannya diatas telapak tangan kirinya diatas dadanya sebelum ruku’ dan sesudahnya. Terdapat riwayat dalam hadits Wa’il bin Hujr dan Qubaishah bin Halab Ath-Tha’i dari bapaknya, begitu juga terdapat riwayat dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy . Adapun meletakkan kedua tangan dibawah pusar terdapat dalam hadits dha’if dari Ali , sedangkan menjulurkannya atau meletakkannya dibawah janggut bertentangan dengan sunnah. Wallahu waliyyuttaufiq.
26. Banyak saudara-saudara kita yang sangat mengutamakan “Jalsah Istirahah” (duduk istirahat antara bangun dari sujud dan berdiri) dan menentang siapa saja yang meninggalkannya. Apakah disyariatkan bagi imam dan ma’mum juga bagi yang shalat sendirian?
Jawab: Duduk istirahat disunnahkan bagi imam dan ma’mum dan bagi yang shalat sendiri, bentuknya seperti duduk diantara dua sujud, yaitu duduk dengan sebentar dan tidak terdapat didalamnya zikir dan do’a dan siapa yang meninggalkannya tidaklah mengapa.
Hadits-hadits yang berbicara dalam masalah ini shahih dari Rasulullah , seperti hadits Malik bin Huwairits dan hadits Abi Humaid As-Sa’idy dan beberapa orang sahabat . Wallahu waliyyuttaufiq.
27. Bagaimana seorang muslim melakukan shalat dalam pesawat, apakah lebih utama baginya untuk shalat di pesawat pada awal waktu? Atau menunggu sampai pesawat mendarat pada akhir waktu?
Jawab: Wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang berada dalam pesawat untuk melakukan shalat semampunya, jika mungkin baginya untuk shalat dalam keadaan berdiri dan dapat melakukan ruku’ dan sujud maka dia harus melakukannya, jika tidak dapat berdiri dia dapat melakukannya sambil duduk dan memberi isyarat untuk ruku’ dan sujud, jika dia mendapatkan tempat untuk shalat dengan berdiri daripada memberikan isyarat, maka wajib baginya untuk shalat dalam keadaan berdiri, berdasarkan firman Allah :
”Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.“ (At-Taghabun: 16)
Dan berdasarkan hadits Rasulullah kepada Imran bin Husain yang sedang sakit: “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu duduklah, jika tidak mampu maka berbaringlah” (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dan An-Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan:”Jika tidak mampu maka berbaringlah“. Yang paling utama baginya adalah shalat diawal waktu, jika dia tunda hingga akhir waktu supaya dapat shalat setelah mendarat, maka tidaklah mengapa berdasarkan umumnya dalil.
Dan hukum (shalat) dalam kendaraan, kereta dan kapal laut sama seperti pesawat.
28. Banyak orang yang melakukan gerakan dan perbuatan yang tidak berguna dalam shalat. Apakah ada batas tertentu bagi gerakan yang membatalkan shalat? Apakah batasan tiga kali gerakan berturut-turut ada dalilnya? Apa nasehat syaikh kepada mereka yang banyak melakukan gerakan dan perbuatan tak berguna tersebut?
Jawab: Wajib bagi seorang mu’min dan mu’minah untuk tenang dalam shalatnya dan meninggalkan perbuatan yang sia-sia, karena thuma’ninah (tenang dalam shalat) merupakan rukun dalam shalat sebagaimana terdapat riwayat dari Rasulullah , bahwa beliau memerintahkan orang yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya untuk mengulanginya. Disyari’atkan bagi muslim dan muslimah untuk khusyu’ dalam shalatnya dan menghadirkan hati di hadapan Allah , berdasarkan firman-Nya:
“Beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.“ (Al-Mu’minun: 1-2).
Dimakruhkan untuk melakukan perbuatan tak berguna, baik dengan bajunya, janggutnya atau yang lainnya, dan jika gerakannya banyak dan berturut-turut maka -berdasarkan yang kami ketahui dari syari’at yang suci- hal tersebut diharamkan dan membatalkan shalat.
Tidak terdapat batasan tertentu dalam masalah ini, dan adanya pendapat yang membatasinya hanya tiga kali gerakan saja adalah pendapat yang lemah dan tidak memiliki dalil. Sebuah gerakan dapat dikatakan banyak dan sia-sia adalah berdasarkan keyakinan orang yang shalat, jika seorang yang shalat berkeyakinan bahwa dia melakukan gerakan yang banyak dan sia-sia secara terus menerus, maka dia harus mengulangi shalatnya jika shalatnya tersebut shalat fardhu, dan dia harus bertaubat dari perbuatannya itu. Dan bagi setiap muslim dan muslimah hendaknya memperhatikan shalatnya agar khusyu’ didalamnya serta meninggalkan perbuatan yang sia-sia walaupun cuma sedikit karena shalat merupakan perkara yang besar dan merupakan tiang Islam serta rukunnya yang paling besar setelah syahadatain dan merupakan perbuatan yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat. Semoga Allah memberikan petunjuk bagi seluruh kaum muslimin agar dapat melaksanakan shalat sebagaimana yang diridhai-Nya.
Entri Populer
-
-
1- Kitab Nikah Menikah dan kehidupan berkeluarga merupakan salah satu sunnatullah terhadap makhluk, yang mana dia merupakan sesuatu yang u...
-
Masjid Baitul ghofur terletak di Komplek Perumahan Pertamina Gunung Pancur Balikpapan
-
Sholat Idul Adha di Lapangan Parkir Masjid Baitul Ghofur Pada Tanggal 17 November 2010
-
-
Sholat Idul Adha di Masjid Baitul Ghofur dilaksanakan pada 17 November 2010 Khotib: Ustadz Samsu Marsudi,Imama Ustadz Samuji
-
-
SYARAT-SYARAT SHALAT 1. Pada sebagian wilayah terdapat siang atau malam yang berlalu dalam waktu sangat lama, ada juga yang berlalu san...
Sabtu, 06 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar